Selasa, 06 Maret 2018

“REGISTRASI SIM CARD”, Privasi atau Konspirasi?



Registrasi SIM Card dan Tren Dunia Melindungi Data Pribadi
Well, kita hidup di negara demokrasi, tentu dong sebagai rakyat kritis kita berhak ngelontarin opini yang kita anggap itu bener.  So, kali ini pembahasan kita gak jauh-jauh dari permasalahan yang terjadi di Indonesia.  Eh, gue gak anggap masalah ding, hanya saja karena masyarakat sudah di provokasi untuk hal sepele ini, ya gue anggap aja ini masalah.

Masyarakat hanya korban, korban provokasi berita yang hiperbola ditambah peraturan “lembek” dari policy maker.  gimana tidak?, jelas masyarakat hanya sekedar menjalankan perintah.  Akhir-akhir ini malah saat roda kepemimpinan Bapak Presiden (yang terhormat), ada saja regulasi “ngawur” yang terus berkembang.

Topik kali ini datang dari gemparnya isu biasa yang mematikan “wajib registrasi ulang kartu”.  Kita coba telusuri sudut pandang “pihak atas”, apa sih urgensi diadakannya registrasi ulang ini?.  Tentunya kita selaku masyarakat yang tidak apatis, ingin tahu urgensi akan hal itu.  

Seperti dijelaskan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara, registrasi SIM card prabayar ini adalah upaya pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan nomor pelanggan, sehingga menekan terjadinya penipuan, penyebaran hoax dan konten negatif, juga meminimalisir kebiasaan pakai buang SIM Card. 1

Alasan yang sangat bijak.  Namun, sayang ada beberapa kasus janggal akhir-akhir ini, sebagai contoh “Penyalahgunaan NIK Registrasi Kartu SIM”.  Lebih lengkap dapat dibaca pada situs http://tekno.liputan6.com/read/3345371/kemkominfo-selidiki-penyalahgunaan-nik-registrasi-kartu-sim . Ini adalah bentuk kegagalan pengamanan database yang menjadi tanggung jawab perusahaan, maka tidak salah kekhawatiran lain yang menjadi sorotan adalah soal privasi. Pasalnya, operator dapat mengintip nama, tempat dan tanggal lahir, serta alamat penggunanya. Registrasi SIM Card terancam mengganggu privasi pelanggan seluler yang ada di Indonesia yang jumlahnya tercatat lebih dari 300 juta orang.  Jika memang database aman, pasalnya belum ada sistem yang mendukung untuk pengamanan data tersebut.  Ibaratkan menyelesaikan masalah dengan masalah baru.

Kekuatan Regulasi

Dalam Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mereka menemukan ada 32 aturan yang kontennya menginstruksikan data pribadi warga dikumpulkan oleh pemerintah dan pihak swasta.

“Terakhir, ada Perppu 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, bahwa dirjen pajak bisa meneropong, rekening pribadi, rekening nasabah perbankan. Dan kedua, ada Undang-Undang Amnesti Pajak waktu itu,” kata Wahyudi, Deputi Direktur Riset ELSAM.
Sayangnya, masih ada tumpang tindih antara regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia. Sehingga, ada celah-celah yang dapat merugikan warga negara. Ia mencontohkan aturan tentang KTP Elektronik alias e-KTP, yang merekam seluruh data pribadi kita, mulai dari alamat, agama, hingga golongan darah.

“Kalau kita membaca satu undang-undang administrasi kependudukan atau kita membaca Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2011 tentang e-KTP, itu tidak satu pun mengatur tentang bagaimana mekanisme perlindungan data yang sudah dilakukan perekaman,” kata Wahyudi.2

Jelas ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi pirvasi dari tiap-tiap masyarakat di negara ini.

Dari total 32 regulasi yang mengandung konten data pribadi tersebut, masih belum ada yang jadi, “Undang-Undang payung yang melindungi data pribadi. Bahkan di ASEAN, tinggal Indonesia, Vietnam, dan Laos yang memang tidak memilikinya. Kita sangat sangat tertinggal dalam hal ini,” kata Wahyudi.

Menghadirkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi seharusnya sudah menjadi yang mendesak di Indonesia. Ihwal tersebut adalah kewajiban negara-negara anggota Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) dan G20, di mana Indonesia merupakan salah satu anggotanya.

“Apalagi kemudian setelah European Union (EU alias Uni-Eropa) mengeluarkan GDPR—General Data Protection Regulation—yang sudah mengikat semua negara Uni Eropa,” kata Wahyudi. 

Kepentingan melindungi data pribadi warganya sudah disadari oleh banyak negara. Catatan ELSAM menyebut, dari total 88 negara yang diteliti, 57 negara memiliki UU Perlindungan Data Pribadi, sedangkan 31 negara belum. Dari 57 negara yang punya UU, enam di antaranya memiliki kewajiban registrasi SIM Card, antara lain Jerman, Malaysia, Mauritus, Norwegia, Afrika Selatan, dan Uni Emirat Arab. Sementara dari 31 yang belum punya UU Perlindungan Data Pribadi, delapan di antaranya malah sudah mewajibkan registrasi SIM Card, termasuk Brasil, Cina, Mesir, Pakistan, Arab Saudi, Swiss, Zimbabwe, dan Indonesia.

Selain mencatat negara mana saja yang sudah menerapkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan kewajiban meregistrasi SIM Card, ELSAM juga mengklasifikasikan kekuatan regulasi tersebut menjadi empat kategori: sangat kuat, kuat, sedang, dan kurang. Sayangnya, karena belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi dan hanya menyebut perlindungan tersebut dalam beberapa aturan saja, Indonesia masuk kategori kurang. Artinya, perlindungan negara terhadap data personal warganya masih lemah.

Kesimpulan

Jelaslah bahwa sebenarnya Indonesia belum siap untuk protecting data.  Maka dari itu tidak salah kiranya masyarakat belum mau melakukan registrasi SIM CARD sesuai prosedur akibat tidak amannya data yang terdaftar pada operator.  Maka, perlunya pemerintah untuk meningkatkan perlindungan data masyarakat yang bersifat sensitif.  Nah, tentu apa kaitannya dengan konspirasi?, jelas ini adalah tahun politik, tidak sembarangan data begitu saja mengalir tanpa adanya perlindungan yang jelas.
 ___________________

1 komentar: